Accelerator atau Resistor
Sepucuk surat akhirnya sampai kepada Amirulmukminin Umar bin Khatab di Madinah. Surat kali ini datang datang dari panglima Amru bin Ash di Negeri Mesir. Ketika itu sang Khalifah tengah mempersiapkan pembebasan negeri atas dari bangsa romawi. Sesuai perintah Umar, panglima Amru mengabarkan kondisi pasukan kaum muslimin serta kekuatan musuh yang akan dihadapi. namun disurat ini, sang panglima memberikan sedikit tambahan tentang permohonan bantuan pasukan.
Umar pun membalas dengan mengirimkan surat yang tentang pengiriman delapan ribu pasukan yang akan membantu Amru dalam pembebasan Mesir. Seperti yang dijanjikan, sejumlah pasukan pun tiba ketika kaum muslimin hampir putus asa atas peperangan yang belum menampakkan keberpihakannya. Tapi sang panglima tak kuasa menahan keheranannya akan jumlah pasukan yang hanya setengah dari jumlah yang dijanjikan Umar. Maka dikirimlah seorang utusan untuk menanyakan kejelasan berita dari Madinah.
Umar mengetahui hal tersebut, ditulislah sepucuk surat untuk panglima Amru bin Ash di Mesir. Isinya kurang lebih seperti ini:
“Dalam pasukan yang aku kirimkan terdapat empat orang yang kekuatan meraka menyerupai jumlah semua tentara yang lain. meraka adalah Muhammad Ibnu Maslamah, Zubair Al – awwam, Ubaid ibnu Somit, Miqdad ibnu Aswad”
Subhanallah, empat orang dengan kekuatan empat ribu pasukan disertakan dalam empat ribu pasukan yang lainnya. Sulit kita prediksi apa yang menyebabkan Amirulmukminin menakar mereka jauh melebihi yang digambarkan Allah dalam suarat Al-anfal ayat 65-66. Jika mereka dilihat sebagai bagian empat ribu pasukan secara keseluruhan, perhitungan umar memang tidak terlalu berlebihan. Namun untuk taraf individu ini merupakan penggambaran yang luar biasa. Kelak pasukan ini di bawah komando panglima Amru bin Ash benar-benar menyelesaikan takdirnya sebagai pembebas Mesir.
Dalam peperangan yang lain kaum muslimin mengalami kendala yang serupa yakni peperangan tanpa Akhir yang terus memelan korban jiwa. Memang jumlah kaum muslimin kala itu tidak lebih banyak dari yang pasukan msyrikin. Tapi bukankah kondisi ini senantiasa terjadi hampir di setiap pertempuran. Sang pemimpin berupaya mengungkap penyebab belum datangnya kemenangan yang Allah janjikan kepada kaum muslimin. Akhirnya ketika ditanyakan kepada sejumlah pasukannya tentang kondisi keimanan mereka, semua orang terdiam hingga seorang bertanya “wahai panglima, aku memang tidak bermaksiat kepada Allah. Tetapi belakangan aku meninggalkan bersiwak. Apakah itu yang menyebabkan tertundanya pertolongan Allah?” Mereka kemudian menyadari adanya amalan sunnah ringan yang mereka tinggalkan semasa pertempuran.
Kedua kisah tersebut menggambarkan kondisi yang sama, terkait faktor penentu kemenangan. Interaksi seorang hamba kepada Rabbnya ternyata menjadi kunci yang senantiasa diperhatikan oleh pemimpin kaum muslimin. Dan sejarah telah melukiskan kebenaran perhitungan tersebut.
Dalam sebuah gerakan bersama, menjadi kewajiban seorang pemimpin untuk memastikan kondisi ruhiyah para anggotanya sebagai upaya mendatangkan pertolongan langit. Untuk setiap anggotannya, hendaklah mereka mampu mengukur kapasirtas dirinya dalam mempengaruhi laju arus gerakan. Ia kah pemercepat (accelerator) atau justru penghambat (resistor) dalam pencapaian setiap kemenangan. Setiap individu akan memberikan nilai akselerasi dan resistasi yang berbeda melalui pancaran keimanan mereka. Hingga laju pergerakan dakwah sesungguhnya hanya merupakan penggambaran akumulasi dari nilai-nilai tersebut.
Jika kita melihat sebuah kondisi dimana tiap-tiap pejuang dakwah tak lagi memperhatikan keimanannya, kita akan menyadari bahwa selalu ada orang-orang luar biasa dengan nilai akselerasi yang sangat tinggi yang menjadikan agenda-agenda dakwah senantiasa berjalan sebagaimana mestinya. Mereka (seperti keempat sahabat dalam cerita diatas) yang memberikan nilai lebih bagi kekuatan kaum muslimin.
Dalam sebuah buku tentang sejarah islam digambarkan bahwa kemenangan kaum muslimin bagian dari nubuwah (mukjizat) yang masih bisa dirasakan setelah kematian nabi namun kekuatannya terus berkurang seiring berjalannya waktu setelah kematian sang nabi. Buat penulis kemenangan kaum muslimin hanyalah bagian dari realisasi janji Ilahi yang terus akan ia berikan. Jika saat ini jalannya itu tampak sulit, evaluasinya dikembalikan pada individu pejuangnya. Jika dalam kondisi normal kemenangan kaum muslimin beitu dekat maka nilai resistansinya memiliki peran penting dalam menghambat lajunya. Adakah kita sebagai resistor, atau accelerator dalam perjalanan ini?
Bogor, 20 Maret 2011
Ahmad Yasin
Komentar