Tantangan Alam dan Petunjuk Tuhan
Penelusuran manusia terhadap fenomena kehidupan menjadi sesuatu yang
tiada habis. Berkembangannya ilmu pengtehuan yang mendasari teknologi
akan terus berlanjut, dan alam terus menampakkan fenomena barunya setiap
kali suatu teorema hampir dipercayai utuh sebagai kebenaran.
Postulat
relativitas Einstein dimunculkan ketika asumsi keberadaan ether
tertolak oleh fakta alamiah. Eksperimen Michelson-Morley tidak mampu
membuktikan apapun terkait ether yang diduga sebagai medium perambatan
gelombang elektromagnetik. Dan Alam menampakkan kebenaran postulat
Einstein kemudian, ketika perumusan matematika yang diajukannya tersebut
kerap kali tepat memprediksi fenomena-fenomena yang dianggap aneh
sebelumnya. Namun –sebagaimana diungkapkan para peneliti eropa (CERN)
akhir september lalu, ketika postulat itu sukses meramalkan berbagai
fenomena, alam justru menampakkan fenomena lain tentang keberadaan
partikel yang bergerak melebihi kecepatan cahaya. Sehingga bahasa
matematika yang diturunkan Einstein sebelumnya tidak akan mampu lagi
memprediksikan gejala alam tersebut, sebagaimana ketidakcocokan Newton
dalam meramalkan gejala relatifistik.
Kasus
tersebut menunjukkan kepada kita tentang keterbatasan sebuah teori.
Namun manusia yang dilebihkan akal oleh tuhannya pasti akan memberikan
rumuskan barunya terkait penampakkan fenomena tersebut. Begitulah
seterusnya dan batasannya tak akan pernah diprediksi oleh keterbatasan
(manusia).
Hal itu tidak hanya terjadi pada fenomena alam yang dikaji secara
objektif. Namun juga pada ilmu-ilmu sosial yang juga digali secara
objektif dari pandangan-pandangan subjektif kebanyakan manusia dan fakta
sejarah. Maka ketika Francis Fukuyama dalam bukunya “The end of History and the Last Man”
tentang kapitalisme dan demokrasi liberal meramalkan akhir dari
pencarian manusia tentang ideologi dengan melihat meluasnya penerapan
sistem ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal secara global sehingga
menciptakan sistem yang semakin seragam. Fakta yang ada justru sistem
kapitalisme belum bisa menyelesaikan permasalahan ekonomi dan
kesenjangan sosial di Negara-negara penganutnya. Kesalahan itulah yang
kemudian menjadi akar bagi banyak permasalahan social selanjutnya.
Kegagalan kapitalisme selanjutnya tampak dari maraknya kampanye anti
kapitalisme yang bahkan terjadi di jantung-jantung kapitalis akhir-akhir
ini. Permasalahan inilah yang kemudian melahirkan ide sosialisme
sebagaimana dilontarkan Karl Marx, juga gagal dalam penerapannya secara
utuh beberapa dekade yang lalu. Maka Islam datang sebagai solusi
penengah yang mungkin dapat diterima. Namun system ini belum kuat untuk
dapat diterima secara luas sebagaimana sistem yang sebelumnya. Sehingga
diperlukan kajian yang utuh dalam praktek sosialnya sebagaimana yang
pernah diterapkan pada era pertama kebangkitannya. Begitulah kemudian
sejarah akan terus berulang atas kehendak tertentu.
Dua sisi ilmu yang menggali fenomena yang berbeda, alam dan sosial. Keduanya akan terus berkembang tanpa ada seorangpun yang dapat memprediksi dimana akhir dari semua pencarian itu. Dua diatas hanyalah sebagian kecil dari berjuta fenomena yang akan terus menarik perhatian manusia terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dua sisi ilmu yang menggali fenomena yang berbeda, alam dan sosial. Keduanya akan terus berkembang tanpa ada seorangpun yang dapat memprediksi dimana akhir dari semua pencarian itu. Dua diatas hanyalah sebagian kecil dari berjuta fenomena yang akan terus menarik perhatian manusia terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Teori
kuantum yang belum tuntas tergambarkan dalam keindahan matematis.
Fonomena evolusi yang justru gagal menggambarkan proses kebetulan
sebagaimana yang diinginkan pencetusnya. Deteksi quark sebagai pertikel
penyusun proton dan neutron juga bukan merupakan akhir dari pencarian
manusia tentang pertikel elementer yang membangun alam semesta.
Perkembangan biologi molekuler yang didukung oleh ilmu fisika dan kimia
melahirkan biokimia maupun biofisika sebagai disiplin ilmu baru yang
semakin menarik. Matematika pun akan terus membahasakan fenomena fisis
yang ditampakkan alam. Juga Ilmu terapan akan mengikuti berkembangnya
disiplin ilmu dasar. Dan ilmu-ilmu sosial tentang humanisme yang tiada
habis dikaji.
Manusia
akan terus mencari sedang alam akan terus menampakkan fanomena
setelahnya mengikuti berkambangnya kecerdasan makhluk ini, seolah
menantang rasionalitas yang dibanggakannya, terus tanpa akhir. Maka
Glashow yang berbagi hadiah nobel dengan Abdus Salam dan Steven Weinberg
menggambarkan perjalanan tanpa henti ini, “jalan alam selalu tampak tak
bisa dilewati, tapi kita mampu mengatasinya”
Mungkin ada maksud tertentu, alam selalu menampilkan ketidakberdayaan
manusia, lebih jauh ia menunjukkan pada kita tentang keberadaan hukumnya
yang tak bisa dikendalikan apalagi ditolak oleh siapapun. Maka
pengakuan ketakberdayaan itu pun diungkapkan oleh banyak manusia yang
memilih mengungkap tantangan alam tersebut. Mengikuti naluri
kemanusiannya yang menuntunnya untuk terus berfikir. Sebagian dengan
membaca fenomena alam, yang lain membaca fenomena sosial. Dua sudut
pandang dengan muara yang sama, kebenaran. Jika demikian akan terlihat
bagaimana kekaguman mereka pada kebenaran hakiki sebagai akhir dari
penelusuran rasionalnya. Dan pengakuan itu benar-benar diungkapkan oleh
tokoh-tokoh besar dunia tentang fakta penciptaan, kuasa Tuhan bahkan
kebenaran Islam dan Al-Qur’an. Banyak dari mereka berasal dari kalangan
Ilmuan, sebagian lagi penguasa atau orang-orang yang berpengaruh dalam
masyarakatnya. Merekalah orang-orang yang menggunakan akalnya, berfikir
tentang hakikat kehidupan.
Namun
keimanan tak cukup pada batas pengakuan, apalagi pengetahuan. Sedang
pintu keislaman dibuka dengan dua kalimat syahadat. maka mereka yang
menemukan muara ilmunya hanya dapat selamat melalui pintu tersebut. Dan
kesombongan kadang membuat seseorang enggan untuk tunduk, sebagaimana
kaum kafir Quraisy yang iri akan kemuliaan Muhammad bin Abdullah.
Mungkinkah
ini cara Allah membimbing manusia ketika wahyu tak lagi turun. Sehingga
benarlah ungkapan ulama (ilmuan) pewaris nabi. Juga kemuliaan yang
besar diberikan Allah bagi mereka yang memilih jalannya. Namun
kebanyakan manusia gagal mendapatkan kemuliaan itu meski tantangan alam
telah direnungkan, dan fakta yang diterimanya telah menampakkan keesaan
penciptaan. Lalu bagaimana dengan kita sebagai muslim? Adakah kita
menggunakan akal untuk benar-benar berfikir. Atau keimanan membuat kita
tunduk tanpa bertanya. Padahal Allah memuliakan hamba-Nya yang berilmu.
Namun keimanan tak harus dapat ditafsirkan secara ilmiah. Dan hidayah
Allah, hanya diberikan kepada siapa yang dikehendaki. Wallahua’lam.
[yasin’11]
Bogor, 28 Desember 2011
(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka.
(QS Ali ’Imran[3]: 191)
Komentar