Menjemput Fajar


Allahuakbarr… begitulah sewajarnya seorang muslim merayakan kemenangannya.
Sesaat kakiku terhenti sembari kuteriakkan takbir agungkan kebesaran Ilahi, menatap takjub dataran tertinggi. "Mahameru, atap pulau jawa, puncak para dewa" Begitulah disebut dataran dimana aku kini berpijak, Mengukuhkan kebanggaan seorang insan yang di beri kuasa menundukkan alam. Kebanggaan yang tak perlu dilebihkan karena demikianlah takdir Tuhan untuk kita. Maka dengannya para manusia dibebankan tugas yang berbeda.
Hembusan dingin kuat menyapu pasir semeru. Lagi, dataran ini menampakkan ketangguhannya, menguji ketahanan setiap pendaki. Di sini kau mungkin dapat bertahan untuk tidak terbawa hembusan anginnya, tetapi dingin akan tetap menusuk kulitmu menembus setiap helai kain yang engkau kenakan. Matahari mulai naik membawa harapan kehangatan yang tak kunjung tiba. Dinginnya terlalu pekat. Dan aku masih tersungkur, menikmati sujudku, mengucap syukur atas kesempatan yang Ia beri.

“Inaa…!” Sebuah seruan terdengar.
Aku tahu, itulah pertanda semua dari kami telah sampai di dataran ini. Sepuluh orang, tidak ada yang tertinggal. Aku tahu, ada kepuasan yang unik disetiap hati-hati kami. Kepuasan yang diistilahkan Sulaiman sebagai kebanggaan yang terjal. Terimakasih Allah, telah engkau pertemukan kami di sini. Terimakasih Allah telah enggkau satukan kami dalam pejalanan ini. Terimakasih Allah telah engkau sempatkan kami menapaki bumi-Mu. Semoga ukhuwah ini senantiasa terjaga hingga pertemuan yang abadi kelak.
***
Pukul sebelas malam, aku terbangun dari balik sebuah tenda di Arcopodo. sebuah dataran yang tidak terlalu luas tapi cukup untuk menampung beberapa tenda pendaki. Di sinilah sebagian pendaki biasanya membangun tempat peristirahatannya sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke puncak tertinggi gunung Semeru, terlebih bagi mereka yang memburu sun rise di puncak sana.
Sebagian lainya memilih Kalimati, dataran yang lebih luas dibawah Arcopodo untuk melepas lelah. Jarak antara keduanya hanyalah satu jam perjalanan mendaki. Disanalah kami beristirahat sejenak ketika melewatinya. Tidak teklalu lama disana, karena tujuan kami adalah tempat ini, Arcopodo.
Kalimati memang menyajikan pemandangan indah dengan tanah pasirnya yang putih kelabu diselingi rerumputan yang hijau menguning. Disana fasilitas peristirahatan sebenarnya lebih baik dengan adanya pos pendakian. Akan tetapi suhunya lebih dingin, juga jaraknya yang masih terlalu jauh dari puncak Mahameru membuat kami enggan memilihnya sebagai tempat bermalam.
Mahameru, puncak tertinggi gunung ini tidak bisa didaki sembarang waktu. Pukul Sembilan pagi biasanya para pendaki mulai turun menghindari gas beracun yang keluar dari  Jonggring Saloko, sebuah nama untuk kawah Semeru. Gas beracun yang konon tak terdeteksi indra manusia. Satu-satunya cara paling mudah untuk mengetahui kedatangannnya adalah dengan membaca arah angin.
Terlambat menghindari gas ini berarti kematian. Seperti itulah seorang aktifis bangsa ini mengakhiri masa baktinya. Soe Hok Gie, meninggal di puncak gunung Semeru tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.
Segera setelah semua terbangun, persiapan untuk pendakian pun dimulai. Semua barang yang memberatkan, kami tinggal di sini. Hanya dua buah ransel kecil kami bawa untuk menyimpan sedikit perbekalan. Sengaja kami membaginya menjadi dua agar terasa lebih ringan di perjalanan. P3K, air minum, roti, coklat, gula merah, tali refling, dan perbekalan lain yang kiranya penting untuk digunakan tak boleh luput dipersiapkan.
Tak ada makanan cukup yang semestinya menjadi penambah energi untuk awali perjalanan malam yang panjang, mengejar sun rise di puncak semeru, menjemput fajar yang selalu hadirkan harapan. Hanya sepotong roti untuk membangkitkan energi yang tersimpan sebelumnya.
Tentang waktu, kami hanya dapat menduga. Sebuah literatur yang menjadi pegangan sepanjang perjalanan menuliskan tiga sampai empat jam waktu yang dibutuhkan untuk pendakian dari titik ini. Tetapi kabar terbaru dari teman pendakian, dari tempat ini mereka membutuhkan waktu tujuh jam. Untuk menyiasati keadaan terburuk, kami memilih yang kedua sebagai acuannya.
Berkumpullah kami sepuluh orang mahasiswa dalam satu lingkaran, memanjatkan doa. Memohon keselamatan juga kesempatan untuk menginjakkan kaki di puncak Semeru saat mentari terbit memancarkan pesona.
Perjalanan ini mungkin akan menjadi yang terberat sepanjang pendakian yang sudah kami lakukan selama beberapa hari ini terakhir. Jika sebelumnya kami dapat menikmati keindahan alam semeru. Kini gelapnya malam menutup mata kami dari pesonanya. Hanya taburan bintang dan seberkas cahaya rembulan teduhkan siapa yang berani menatap.
kami sangat percaya terbitnya matahari pagi saat sampai di puncak nanti akan menyajikan pemandangan yang paling spektakuler sepanjang perjalanan hingga pulang nanti. Itulah energi terbesar yang mendorong kami menembus gigitan dingin malam. Itulah ‘harapan’ yang kata nabi ‘adalah rahmat Allah untuk umatku’.
Perlahan kami mengatur posisi sambil memulai langkah. Sulaiman  yang menjadi  pemimpin perjalanan kami, menentukan posisi tiap-tiap anggootanya. Jeky didepan, diikuti Jo. Aku mengusul tepat di tengah barisan. Penerangan yang ada kami upayakan maksimal dengan menempatkannya pada posisi yang tepat.
“Bismillah” bisikku memulai langkah. Pukul dua belas kurang tengah malam, Pendakian pun dianjutkan.
***
“Tahan” ucapku memberi isyarat pada rekan didepan agar menghentikan langkahnya. Sadar akan medan yang terjal dan penerangan yang minim, kami berkomitment untuk tidak terpisah satu dengan yang lain.
Untuk kesekian kali, kami berhenti. Pukul satu dini hari,  Belum sampai dua jam perjalanan dilakukan. Nafas-nafas kami sudah menggambarkan keletihan yang sangat. Medan mendaki yang sedikit curam menguras tenaga kami lebih banyak.
“Refling ada Jo” kataku pada Jo menyanpaikan pesan dari bawah sana.
Salah satu ransel kecil yang kami bawa dari Arcopodo ada di tangan Jo yang berada di depan memimpin perjalanan. Tidak hanya pada pendakian malam ini, tetapi sejak awal Jo memang memimpin. Tubuhnya yang kecil membuat langkahnya ringan dan cepat. Tak heran jika kemudian Sulaiman memintanya berada di urutan kedua dalam  perjalanan malam ini.
“Buat siapa?” tanyaku
“Ina” jawaban yang samar kutangkap lewat desah yang tak jelas dari bawah sana.
Sejak awal perjalanan Ina memang sudah menunjukkan kelemahannya. Tetapi semangatnya yang luar biasa untuk terus bersama membuatnya bertahan sampai di sini. Semangat yang justru kita temukan dalam keterbatasannya. Aku malu pada diriku yang mulai mengeluh atas kelelahan.
Meski dengan berbagai bantuan, sampai ke tempat ini merupakan suatu yang luar biasa. Tidak semua orang diberikan kemampuan atau kesempatan untuk menapaki terjalnya pendakian Semeru. Untunglah egoisme diantara kami telah hilang ditelan dinginnya angin malam. Kini, yang ada di kepala kami adalah bagaimana cara untuk tetap bersama. Bahkan jika itu mengharuskan kami tidak sampai puncak menikmati keindahan alamnya.
Persahabatan sepanjang parjalanan kurasa cukup mengobati kekecewaan itu. Tetapi ina tidak pernah mau menjadi penyebab kegagalan. Seperti itulah seharusnya persahabatan dibangun. Untuk saling menguatkan, bukan saling mendahului, kemudian lari. Untuk saling membantu, bukan menyulitkan apalagi menghambat. Untuk bersama mencapai puncak kesuksesannya masing-masing.
Kulihat dari atas Ina sudah berdiri kembali. Tangannya ditarik refling sedang kakinya terus melangkah. Dari bawah mereka bergerak, ke atas terus merapat.
“Lanjut” Seru ku.
Kuberi aba-aba ke depan sembari ku pegang pundak sang pembuka jalan. Aku hanya mampu berdoa agar Ina benar-benar diberi kekuatan untuk terus melangkahkan kaki, mendaki.
Kembali kami bergerak dengan barisan yang teratur, masih seperti di awal tadi. Perlahan dalam gelap, ku perhatikan tumbuhan di sekitar yang mulai berkurang. Kini disekitar kami lebih banyak dipenuhi pasir dan bebatuan. Bebatuan yang mungkin berasal dari pucak yang kami tuju.
Aku mengira sudah dekat, Ternyata salah. Setelah beberapa jam dari batas pohon terakhir yang aku temui, belum ada tanda aku sampai di puncaknya. Di depan, aku hanya menemukan tanjakan yang semakin terjal penuh dengan bebatuan. Batas vegetasi itu, nyatanya baru awal dari perjalanan yang sebenarnya. Ketika tak ada lagi pepohonan yang menahan dinginnya tiupan angin malam.
***
“Salim tunggu ya, jangan ditinggal” pinta Asma.
Diam, tanpa jawaban. Tiga jam lebih pendakian menghadirkan kelelahan yang cukup membuat setiap orang enggan untuk banyak bercakap. Dan keheningan mempendengarkan jelas hembusan nafas lelahku sendiri. Deru angin memainkan irama kematian lewat dinginnya suhu pegunungan. Suara batu berjatuhan di sisi kami menghadirkan persepsi mengerikan akan medan yang terjal serta jurang yang tak terlihat. Entahlah, tapi kami hanya dapat menduga dalam keterbatasan.
 Aku berhenti, menatap sumber suara. Samar kilihat seseorang dengan penutup kepalanya, berpegang pada batu yang tak tampak kokoh.
“Sraaak…”
benar saja batu itu tergelicir, dan sosok tadi mencengkram pasir pertahankan posisi untuk tetap naik. Kusandarkan punggungku pada pasir-pasir itu. Menatap langit bertabur bintang, mengurangi sedikit lelah perjalanan lewat kecantikan gugusnya. Ada juga cahaya rembulan yang bawakan sedikit keteduhan.
Kuistirahatkan sejenak tubuh ini sambil menunggu rekan yang tertinggal. Belum tampak tanda-tanda puncak mahameru yang seharusnya semakin dekat. Gelap malamlah yang akhirnya membatasi  jarak pandang kami.
Asma, baru tiga hari aku mengenalnya. Bertemu pertama kali di stasiun Senen sebelum menaiki kereta menuju Semarang dilanjutkan ke Malang. Seperti juga aku, Asma pun mahasiswa. Hanya saja kami berbeda unversitas dan jenjang. Dari jenjang pendidikannya sebagai mahasiswa S-2 dialah yang tertua diantara kami. Konon kuliahnya di UGM baru benar-benar akan dimulai berkisar dua bulan lagi.
Kami sepuluh orang mahasiwa melakukan perjalannan dari kota Bogor, sebagian dari kami baru saling mengenal. Aku sebelumnya hanya mengenal tiga diantara kami. Sulaiman, Atif, dan Budi, mereka temanku satu kosan. Kosan yang tidak hanya memberikan tempat tinggal, tetapi juga pelajaran dan kenangan. Al Inayah, begitulah kami biasa menyebutnya.
tiga orang berikutnya Jeky, Jo dan Mino. Mereka baru kukenal beberapa hari sebelum perjalanan, ketika bersama membuat planning pendakian semeru. gunung tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggiannya mencapai 3.676 meter diatas permukaan laut (mdpl). Sisanya ada Ina dan Teguh. Keduanya aku kenali di awal perjalanan, saat kami hendak bergerak dari Bogor.
Desah nafas yang juga kencang kudengar mendekat. Kualihkan pandangan ke bawah. Asma sudah berada tepat di kaki ku. Segera kucengram kuat pasir di sekitarku. Bersiap membalikkan badan untuk meneruskan pendakian yang sesaat tertunda. Seketika itu butiran pasir dan bebatuan kecil menggelinding ke bawah menandakan ketakberdayaan melawan grafitasi yang terus menarik ke pusat bumi. Pijakan kakiku menguat, bersiap mengatur langkah.
“Bentar Lim, kaki Aku kesemutan.”
Desah Asma yang pelan nyatanya mampu memaksaku untuk kembali mengendurkan otot, mengatur posisi untuk bersandar menahan diri agar tak terperosot jatuh seperti pasir bebatuan. Menghentikan langkah berarti menahan dingin. Semakin lama semakin menusuk.
“Aah sakit…” Rintih Asma lagi.
Keram pikirku, sambil mendekat kuminta Asma meluruskan kakinya. Agak sulit meraih kakinya untuk sedikit memberikan pijatan ringan. Jelas saja, posisi ku berada diatas.
Seorang dengan postur tinggi, rambut sepanjang bahu, mendekat dari bawah. Kami memanggilnya Jeky. Cara bergaulnya yang unik membuatnya memiliki banyak teman. Dengan bantuannyalah kami tidak mendapat kesulitan saat mencari penginapan di malam pertama kunjungan kami ke kota Malang sebelum melanjutkan perjalanan.
“Jak… jak… keram..!” Seruku member isyarat, memohon bantuan untuk Asma.
Dengan tanggap Jeky memberikan pertolongan pertamannya. Setengah jam perjalanan terhenti, sepanjang itulah kami menahan dingin. Tubuhku mulai menggigil. Perlahan kulafazkan zikir, meminta tambahan energi dari sumber yang paling berlimpah.
“yuk jalan lagi,” Ajak Asma “tapi pelan ya..!”.
Sesaat kukumpulkan kembali energiku. Kemudian melangkah kuat berharap puncak yang semakin dekat. Hanya sebentar kami kembali terhenti. Asma ternyata tak kuasa melangkah.
“Bisa bantu nggak..?”
“Pelan-pelan ja mba..!” Kali ini, aku bersuara.
“Iya, tapi aku jalannya pincang.” Komentar Asma lagi.
“Bantu Lim, dituntun biar  cepet..!” Pinta Jeky.
“Nanti kalau gak kuat kita gentian.” Serunya menawarkan solusi.
Tanpa ragu aku ulurkan tangan menuntun Asma, membantunya merangkai langkah. Perjalanan dilanjutkan dengan sisa tenaga yang ada. Aku tidak tahu seberapa jauh lagi kaki ini masih harus diayunkan untuk sampai ke puncak tertinggi itu. Bagi kami semua, ini adalah pendakian pertama yang masih menyisakan misteri. Aku hanya yakin dengan melangkahkan kaki, puncaknya akan mendekat. Itulah satu-satunya yang dapat aku lakukan sebelum keletihan atau dinginnya malam mengalahkan kami semua.
***
“Liat belakang Lim…” Lagi, suara itu mengajak untuk berhenti.
 Perjalanan kami sudah banyak tertunda, karenanya puncak belum juga tampak. Aku berhenti dengan tangan masih mencengkram pasir, sedang kaki siap melanjutkan pendakian. Hanya wajah yang menoleh dengan sedikit enggan menunda perjalanan.
Asma berhenti lebih dulu. Seketika itu dia langsung melepaskan tangannya dari cengramanku. Aku merasa ada sesuatu yang benar-benar memaksa kami untuk berhenti.
***
“Subhanallah” ucap ku tak kuasa menahan takjub akan lukisan hebat karya Pencipta.
Seberkas garis jingga tampak bergradasi menuju biru kemudian hitam. Sedang taburan bintang masih menghiasi langit yang mulai bercahaya. Sekumpulan awan tebal tampak seperti kapas putih seolah dapat dipijaki. Semua tampak indah dibawah kaki-kaki kami. Sederetan bukit bukit kecil bermunculan menembus awan, memantulkan hijau dari putihnya cahaya mentari yang masih terbatas.
Aku yakin setiap dari kami berhenti sejenak menikmati keindahan yang langka. Kulihat dibawah ada Jeky yang bersandar menatap langit. Sedang diatas ada Teguh yang berdiri menolehkan wajah. Keduanya menatap takjub pemandangan di belakang jalan.
Sebelumnya Teguh berada di bawah ku, tetapi kemudian menyusul saat langkahku dan Asma melambat.
“Tuntun terus Lim, sampai ke puncak ..! Tanganku sudah sakit. Ngak bisa bantu.” Pesan Teguh saat menyusul.
Aku salut padanya. Sekarang dipundaknya terpinggul salah satu ransel kecil yang kami bawa dari Arcopodo. Sebelumnya,  selama perjalanan dia jugalah yang mau mengangkat ransel Ina ketika pemiliknya mulai letih melangkah. Dengan itu perjalanan kami dapat dipercepat.
Selain Tegyh dan Jeky aku tidak mampu melihat seperti apa posisi rekan yang lainnya. Yang aku tahu di atas Teguh ada Mino dan Budi, mereka berdua lah yang membuka jalan. Barisan yang kami atur sebelumnya diawal tidak lagi berlaku akibat tuntutan peran dan kondisi medan.
Di bawah Jeky, ada Jo dan Sulaiman yang menarik Ina dengan refling. Belakangan aku tahu, Ina tidak lagi ditarik oleh satu orang. Terakhir ada Atif yang menemani dibelakang, siap bergantian jika salah satu dari keduanya lelah. Itu dugaan ku jika formasi kami masih lengkap. Sejujurnya aku tak tahu pasti karena mata tak mempu lagi menangkap bayangan mereka yang di atas maupun yang di bawah.
 “Subuh…?” Tanya ku.
Tidak ada suara azan yang mengingatkan kami, tapi garis putih yang menguning di batas langit itu menjadi penanda datangnya fajar.
“Iya” Suara menyahut dari sampingku.
“Yuk dipercepat!”
“Kita akan sholat subuh dipuncak sana!”
“Bismillah, Semoga belum terlambat” Asma pun berdiri.
Aku menoleh keatas, teguh sudah tidak disana. Energi baru tiba-tiba saja muncul membakar kembali semangat kami. Aku tak tahu dari mana asalnya. Yang aku yakini, saat ini puncak Mahameru sudah sangat dekat. Disanalah kami akan melaksanakan shalat, saat mentari menjemput fajar dari barisan bukit Semeru. Mangucap syukur tak tertahan, Larut dalam doa panjang, sembari terus menatap indah ciptaan-Nya.
Bogor,  5 Juli 2012 (Ahmad Yasin)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fatma Qianna Althafunnisa

Pindah Blog

Semangat Menuntut Ilmu